Agama adalah sesuatu yang inherent dalam kehidupan manusia. Terlepas dari “jenis” agama yang dianut, manusia pada prinsipnya memegang kepercayaan tertentu sebagai bukti terikatnya manusia pada sesuatu yang “maha”. Disisi lain aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup adalah sebuah keniscayaan.. Secara naluriah, manusia dituntut untuk dapat bertahan dalam hidup dengan melakukan aktivitas ekonomi. Lalu, apakah ada hubungan antara agama sebagai keyakinan dengan etos kerja untuk survive dalam kehidupannya. Atau, agama dan etos kerja dalam ekonomi adalah dua hal yang berbeda, keduanya berjalan pada “relnya” masing-masing?.
Di Barat sendiri belakang ini memang diakui kajian tentang hubungan Agama dan Ekonomi sangat sedikit kalau tidak bisa dibilang hampir tidak ada. Namun bukan tidak ada. Mari kita simak beberapa studi berikut ini:
Adam Smith dalam buku pertamanya sebenarnya menganggap unsur agama punya peran dalam bidang ekonomi. Dalam hal ini agama dia sebut dengan istilah “moral suasion”. Ia menyatakan bahwa aspek moral harus mewarnai dan berperan dalam ekonomi. Namun berikutnya dalam bukunya yang kedua yang lebih terkenal “the Wealth of Nation” aspek agama akhirnya hilang namun masih tetap ada fungsi yang hilang itu yang diganti dengan nama “invisible hand”. Sebagaimana kita ketahui pada akhirnya dalam teori, model, dan kebijakan ekonomi, keuangan perbankan peran dan nilai agama sama sekali dihilangkan.
Chester I Barnard (1938) pernah mengemukakan tentang tanggung jawab moral dari seorang eksekutif dalam memimpin perusahaan. Kemudian Max Weber (1958) menulis buku yang membahas tentang pengaruh positif etika protestan terhadap spirit kapitalisme dalam bukunya “the Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism”. Gerald Bell (1967) kemudian membandingkan kesuksesan dibidang kekayaan dan kekuasaan antara Protestan dengan Katolik dia menyimpulkan pemeluk protestan lebih berhasil dalam meraih kekayaan dan kekuasaan dibanding dengan Katolik. Gerhard Lenski (1967) menemukan hal yang sama artinya agama mempengaruhi mobilitas dan kesuksesan seseorang. Lipset, Bendix dan Weller menemukan hubungan signifikan antara agama dengan sikap dan prilaku ekonomi seseorang. Gordon Woodbine dan Tungsten Chou (2003) melihat hubungan antara afiliasi agama dengan persepsi mahasiswa terhadap etika konsumen, mereka menyimpulkan bahwa pemeluk Islam lebih memiliki komitmen terhadap etika dibandingkan dengan pemeluk Buddha dan Kristen dan pemeluk Buddha lebih komit terhadap etika dibandingkan Kristen.
Etika Ekonomi dalam Agama
Jika ilmu ekonomi modern cenderung memisahkan ajaran efisiensi dari ajaran etika yaitu ajaran benar-salah, atau ajaran adil-tidak adil, maka ekonomika etik (ethical economics) memaksakan penyatuan keduanya sebagaimana diteliti mendalam oleh Max Weber.
Teresa Lunati dalam buku Ethical Issues in Economics (Macmillan, 1997) secara lugas membedakan economic man vs ethical man, Neoclassical firms vs ethical firms, dan Neoclassical markets vs ethical markets sebagai berikut, “Moral values and norms such as altruism, cooperation, solidarity, trust, honesty, truth – telling, obligation, duty, commitment, fairness, equality, are the main values of ethical man, of ethical firms, and ethical markets”.
Kaitan erat antara etika dan sistem ekonomi menjadi makin jelas terlihat melalui peranan idiologi, untuk memberi dan sebagai pembenaran (justification) dari sistem ekonomi yang diterapkan.
Di Indonesia jika Pancasila kita terima sebagai ideologi bangsa maka sistem ekonomi nasional tentu mengacu pada Pancasila, baik secara utuh (gotong royong, kekeluargaan) maupun mengacu pada setiap Silanya:
1.Ke-Tuhanan Yang Maha Esa: Perilaku setiap warga Negara digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab: Ada tekad seluruh bangsa untuk mewujudkan kemerataan nasional;
3.Persatuan Indonesia: Nasionalisme ekonomi;
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan: Demokrasi Ekonomi;dan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
Kemampuan Ilmu Ekonomi Neoklasik menurut Paul Samuelson menguasai pemikiran ekonomi dunia adalah karena penyebarannya menggunakan metode-metode agama.
Buku Max Weber The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904-5) menggambarkan hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi. Weber mulai dengan analisis ajaran agama Kristen Protestan, dan menjelang akhir hayatnya dibahas pula (sosiologi) agama Cina (1915, Taoisme dan Confucianisme), India (1916, Hindu dan Budha), dan Yudaisme (1917).
Etika Ekonomi dalam Islam
Asal Usul Ekonomi Islam
Prinsip fundamental ilmu ekonomi Islam bersumber pada Al Qur’an dan Sunnah. Tafsiran dan penafsiran kembali asas-asas ini (yang mengatur berbagai pokok persoalan) seperti nilai, pembagian kerja, sistem harga, dan konsep ”harga yang adil”, kekuatan permintan dan penawaran, konsumsi dan produksi, pertambahan penduduk, pengeluaran dan perpajakan pemerintah, peran negara, lintas perdagangan, monopoli, pengendalian harga, pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, dan sebagainya, oleh sejumlah cendekiawan dan ahli ekonomi Islam telah diberi dasar operasional ilmu ekonomi Islam dan kesinambungan ide-ide ekonominya sejak dekade 70-an. Sarjana-sarjana Muslim seperti Abu Yusuf (731-798), Yahya Ibn Adam (meninggal 818), El Hariri (1054-1122), Tusi (1201-1274), Ibn Taimiya (1262-1328), Ibn Khaldun (1332-1406), Shah Waliullah (1702-1763), Abu Darr Ghifari (meninggal 654), Ibn Hazm (meninggal 1064), Al Ghazali (1059-1111), Farabi (meninggal 950) dan banyak lainnya yang telah menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan ekonomi.
Saat ini sistem Ekonomi Islam banyak dijadikan bahan diskusi dikalangan akademisi. Hasil kajian tersebut dalam tataran aplikatif mulai menuai hasilnya dengan berdirinya bank-bank Islam di kawasan Timur Tengah antara lain Islamic Development Bank di Jeddah 1975. Hal tersebut menjadikan masyarakat berasumsi bahwa sistem islam adalah Bank Islam. Padahal sistem Ekonomi Islam mencakup Ekonomi makro, mikro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, public finance, model penbangunan Ekonomi dan instrument-instrumentnya. Ekonomi Islam pada hakikatnya adalah upaya pengalokasian sumber-sumber daya untuk memproduksi barang dan atau jasa sesuai dengan petunjuk Allah SWT untuk memperoleh ridha-Nya. Petunjuk Allah SWT tentang hal itu sudah ada sejak wahyu diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Menurut ahli Ekonomi Islam (M. Yasir Nasution 2002), ada beberapa karakteristik yang melekat pada Ekonomi Islam yaitu sebagai berikut:
1.Inspirasi dan petunjuk diambil dari al-Quran dan Sunnah (hadits)
2.Perspektif dan pandangan-pandangan ekonominya mempertimbangkan peradaban Islam sebagai sumber.
•Arti, Hakikat, dan Ruang Lingkup Ekonomi Islam
•Arti Ekonomi Islam
Ilmu Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat dan perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Dapat disimpulkan bahwa ekonomi islam bukan hanya merupakan praktek kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu dan komunitas muslim yang ada, namun merupakan perwujudan perilaku ekonomi yang didasarkan pada ajaran islam. Ekonomi islam mencakup cara memandang permasalahan ekonomi menganalisis dan memberikan alternatif dan solusi atsa berbagai permasalahan ekonomi. Ekonomi islam merupakan konsekuensi logis dari implementasi ajaran islam secara kafah (sempurna) dalam aspek ekonomi. Permasalahan ekonomi umat manusia yang fundamental bersumber dari kenyataan bahwa manusia mempunyai kebutuhan yang pada umumnya tidak dapat dipenuhi tanpa mengeluarkan sumber daya energi manusia dan terbatasnya peralatan material guna pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Mengenai masalah pokok keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan, hampir tidak terdapat perbedaan apa pun antara ilmu ekonomi Islam dan ilmu ekonomi modern. Perbedaan yang timbul terletak pada sifat manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pertikaian abadi antara beraneka ragamnya keinginan dan kurangnya sarana memaksa manusia untuk mengadakan pilihan di antara kebutuhan-kebutuhan, guna menetapkan daftar prioritas dan kemudian mendistribusikan sumber daya sedemikian rupa sehingga mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan secara maksimum. Dalam ilmu ekonomi modern masalah pilihan ini sangat tergantung pada bermacam-macam tingkah masing-masing individu, yang terkadang tidak memperhitungkan persyaratan-persyaratan masyarakat. Namun dalam ilmu ekonomi Islam, manusia tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber daya semaunya. Dalam hal ini ada pembatasan moral yang serius berdasarkan ketetapan Kitab Suci Al Qur’an dan Sunnah atas tenaga individu. Islam selalu menekankan agar setiap orang mencari nafkah dengan halal (Q.S., An Nisa, 4:29). Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105.
Hal ini luas artinya, karena ilmu ekonomi Islam mengambil pengetahuan dari faktor-faktor non-ekonomi seperti faktor politik, sosial, etik dan moral. Sedikit banyaknya seperti juga ilmu ekonomi terapan yang mengambil pengetahuan dari faktor-faktor non ekonomi—kekasaran dan perselisihan dunia nyata yang menjadikan imbangan condong pada putusan praktis. Demikianlah ruang lingkup ilmu ekonomi Islam yang tampaknya menjadi administrasi kekurangan sumber-sumber daya dalam masyarakat manusia dipandang dari segi konsepsi etik kesejahteraan dalam Islam. Oleh karena itu, ekonomi Islam tidak hanya mengenai sebab-sebab material kesejahteraan, tetapi juga mengenai hal-hal non material yang tunduk kepada larangan Islam tentang konsumsi dan produksi.
Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturaan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter.
Hakikat Ekonomi Islam
Dalam Islam Hakikat Ekonomi adalah kita mampu merasakan bahwa segala harta benda termasuk segala hal lain yang ada hubungannya dengan Ekonomi adalah kepunyaan Allah samata-mata, bukan kepunyaan kita. Kita hanya diamanahkan oleh Allah supaya kita dapat mengendalikan dengan sebaik-baiknya. Itulah hakikat ekonomi islam. Dengan demikian ekonomi yang diwujudkan di dunia ini adalah ekonomi akhirat dengan tujuan untuk membina iman dalam diri kita. Ekonomi untuk menginsafkan kita sebagai hamba Allah. Kalau kita berekonomi bukan untuk Allah, bukan untuk Akhirat maka akan terjadilah krisis, akan terjadilah kekacauan, perpecahan dan permusuhan. Akan berlakulah berbagai-bagai bencana dalam kehidupan manusia akibat daripada berekonomi sermata-mata untuk membangunkan dunia. Oleh kerana itu kalau kita beroleh banyak keuntungan hendaklah banyak pula kita berkorban. Semakin banyak untung semakin banyak pula pengorbanan maka akan bertambahlah pula pahala dan semakin hampir diri kita dengan Tuhan yang Maha Pemurah. Kerana Tuhan yang Maha Pemurah itulah sebenarnya yang memberi kita keuntungan dalam berekonomi. Sekalipun ekonomi kita rugi, yang penting dapat tingkatkan iman dan semakin hampir dengan Allah karena hakikatnya yang mengizinkan kita mengalami kerugian adalah Allah jua. Maka peranan ekonomi sebenarnya adalah untuk mendekatkan diri dengan Allah. Walaupun rugi pada pandangan Allah tidak rugi, sebaliknaya Allah akan memberi pahala yang besar. Itulah yang dikatakan perniagaan Akhirat.
Ruang Lingkup Ekonomi Islam
Beberapa ekonom memberikan penegasan ruang lingkup dari ekonom Islam adalah masyarakat Muslim atau negara Muslim itu sendiri. Artinya, ia mempelajari perilaku ekonomi dari masyarakat atau negara Muslim di mana nilai-nilai ajaran agama dapat diterapkan.
Sementara pendapat dalam arti luas ekonomi islam tidak ada batasan sepreti definisi di atas. Ekonomi islam melainkan lebih pada penekanan terhadap perspektif islam tentang masalah ekonomi pada umumnya yang artinya, titik tekan ilmu ekonomi islam adalah pada bagaimana islam memebrikan pandangan dan solusi atas berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi oleh seluruh umat manusia.
Tujuan dan Prinsip Ekonomi Islam
Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof. Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
1.Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
2.Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3.Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati maslahah (puncak sasaran) di atas mencakup lima jaminan dasar:
keselamatan keyakinan agama ( al din)
kesalamatan jiwa (al nafs)
keselamatan akal (al aql)
keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
keselamatan harta benda (al mal)
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
1.Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
2.Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
3.Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
4.Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
5.Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
6.Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
7.Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab).
8.Islam melarang riba dalam segala bentuk
Dasar-Dasar Etik Ekonomi Islam
Etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-Quran. Namun jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat (spirit) kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat tentang manusia dalam hubungan dengan dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya, yaitu :
1. Kesatuan (Tauhid)
Sumber utama etika Islam adalah kepercayaan penuh dan murni terhadap kesatuan Tuhan. Hal ini secara khusus menunjukkan dimensi vertikal Islam—yang menghubungkan institusi-institusi sosial yang terbatas dan tak sempurna dengan Dzat yang sempurna dan tak terbatas. Hubungan ini dipengaruhi oleh penyerahan tanpa syarat manusia di hadapan-Nya, dengan menjadikan keinginan, ambisi, serta perbuatannya tunduk pada perintah-Nya.
Ketundukan manusia pada Tuhan membantu manusia merealisasikan potensi teomorfiknya, juga membebaskannya dari perbudakan manusia. Dengan mengintegrasikan aspek-aspek religius, sosial, ekonomi dan politik, kehidupan manusia ditranformasikan ke dalam suatu keutuhan yang selaras, konsisten dalam dirinya dan menyatu dengan alam luas. Dengan demikian, manusia bisa mencapai harmonitas sosial dengan meningkatkan rasa memiliki persaudaraan universal.
2. Keseimbangan/kesejajaran (al-`Adl wa al-Ihsan)
Al-Qur’an menyatakan:
’Sesungguhnya, Allah menyuruh kamu berbuat adil dan ihsan.” (QS. 16:90).
Sebagai cita-cita sosial, prinsip keseimbangan/kesejajaran menyediakan penjabaran yang komplit seluruh kebajikan dasar institusi sosial: hukum, politik dan ekonomi. Pada dataran ekonomi, prinsip tersebut menentukan konfigurasi aktivitas-aktivitas distribusi, konsumsi serta produksi yang terbaik, dengan pemahaman yang jelas bahwa kebutuhan seluruh anggota masyarakat yang kurang beruntung dalam masyarakat Islam didahulukan atas sumber daya riil masyarakat. Sebagaimana kesatuan, sifat kesejajaran juga terbentuk sejak semula pada diri Tuhan sendiri, yang juga Maha Adil, Pemberi Kesejajaran. Inilah alasan mengapa prinsip keseimbangan/kesejajaran merupakan nilai etik fundamental, yang merangkum sebagian besar ajaran etik Islam—yakni, diinginkannya pemerataan kekayaan dan pendapatan, keharusan membantu orang yang miskin dan membutuhkan, keharusan membuat penyesuaian-penyesuaian dalam spektrum hubungan-hubungan distribusi, produksi, konsumsi dan sebagainya.
3. Kebebasan (Ikhtiyar)
Dalam pandangan Islam manusia terlahir memiliki ’kehendak bebas’—yakni, dengan potensi menentukan pilihan di antara pilihan-pilihan yang beragam. Karena kebebasan manusia tak dibatasi dan bersifat voluntaris, maka dia juga memiliki kebebasan untuk mengambil pilihan yang salah. Satu penjelasan lain adalah bahwa dalam perspektif Islam, manusia tidak terbelenggu oleh determinisme historis. Jika Tuhan Maha Tahu,Dia juga Pengadil sempurna atas tingkah laku tempat manusia menjalankan hak asasinya untuk memilih antara yang baik dan yang buruk serta keadaan-keadaan lain yang berada di antara kedua ekstrim tersebut.
4 .Tanggung jawab (Fardh)
Konsepsi tanggung jawab dalam Islam secara komprehensif ditentukan. Ada dua aspek fundamental dari konsep ini yang harus dicatat sejak awal. Pertama, tanggung jawab menyatu dengan status kekhalifahan manusia—keberadaannya sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Manusia sebagai wakil (khalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi. Kedua, konsep tanggung jawab dalam Islam pada dasarnya bersifat sukarela dan tidak harus dicampuradukkan dengan ’pemaksaan’, yang ditolak sepenuhnya oleh Islam. Inilah keadaan di mana seorang individu akan memandang berada dalam kepentingannya sendiri karena kadar moral dan pertimbangan-pertimbangan non-uang meningkat dalam kesadarannya.
Kita perlu mencatat apa yang bukan tanggung jawab manusia. Pertama, manusia tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Kedua, orang tidak bertanggung jawab atas perbuatan nenek moyangnya di masa lalu. Ketiga, tanggung jawab manusia adalah seukuran dengan kemampuan fisik dan finansialnya untuk memikulnya. Keempat, tanggung jawab seorang manusia berakhir manakala kebebasan seorang manusia lain bermula. Dengan demikian, dalam menunaikan tanggung jawabnya, orang harus berhati-hati dalam melaksanakannya secara moderat dan dengan keputusan yang baik.
Tokoh-Tokoh Ekonomi Islam
Ibn Khaldun
Ibn Khaldun telah membincangkan beberapa prinsip dan falsafah ekonomi seperti keadilan (al adl), hardworking, kerjasama (cooperation), kesederhanaan (moderation), dan fairness.
Berhubung dengan keadilan (Justice), Ibn Khaldun telah menekankan bahawa keadilan merupakan tulang belakang dan asas kekuatan sesebuah ekonom. Apabila keadilan tidak dapat dilaksanakan, sesebuah negara akan hancur dan musnah.
Menurut beliau, ketidakadilan tidak sahaja difahami sebagai merampas wang atau harta orang lain tanpa sebarang sebab yang diharuskan. Malah, mengambil harta orang lain atau menggunakan tenaganya secara paksa atau membuat dakwaan palsu terhadap orang lain. Begitu juga kalau meminta seseorang melakukan sesuatu yang berlawanan dengan Islam.
Beliau mengkategorikan perampas harta orang lain secara tidak sah hingga memberi kesan kepada kehidupan isteri dan keluarga sebagai paling tidak adil. Menurut beliau lagi, seseorang yang membeli harta seseorang dengan harga yang paling murah termasuk dalam kategori memiliki harta cara yang tidak betul.
Ketidakadilan seumpama di atas membawa kepada kejatuhan sesebuah negara dan keruntuhan sesebuah tamadun dengan segera. Menurut Ibn Khaldun, atas sebab sebab tersebutlah semua bentuk ketidakadilan dilarang oleh Islam.
Manusia dan Ekonomi
Berdasarkan analisis mendalam, didapati kesemua teori ekonomi dan idea Ibn Khaldun tentang manusia berdasarkan kepada prinsip-prinsip dan falsafah Islam. Ibn Khaldun tidak melihat fungsi utama manusia dalam aktiviti perekonomiannya seumpama haiwan ekonomi (economic animal). Sebaliknya beliau menganggap manusia itu sebagai manusia Islam (Islamic man/homo Islamicus) yang memerlukan pengetahuan ekonomi untuk memenuhi misinya di atas muka bumi ini.
Dalam hal ini, Ibn Khaldun menekankan perlunya manusia menjauhi perbuatan jahat. Sebaliknya manusia wajib mengikuti ajaran Islam sebagai model untuk memperbaiki dirinya dan mesti memberikan keutamaan kepada kehidupan akhirat.
Teori Pengeluaran
Ibn Khaldun mengemukakan teori bahawa kehidupan perekonomian sentiasa menghala ke arah pelaksanaan keseimbangan antara penawaran dengan permintaan. Menurut beliau pengeluaran berasaskan kepada faktor buruh dan kerjasama masyarakat. Bahkan beliau menganggap buruh merupakan faktor terpenting dalam proses pengeluaran walaupun faktor-faktor lain seperti tanah tersedia, tenaga buruh perlu untuk menghasilkan matlamat akhir.
Selain itu beliau berpendapat bahawa kenaikan yang tetap pada paras harga amat perlu untuk mengekalkan tahap produktiviti. Dalam hal ini beliau menyarankan agar masyarakat melakukan perancangan supaya setiap bidang pekerjaan dilakukan oleh orang yang mahir dan cakap.
Walau bagaimanapun, pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan pembahagian tenaga buruh bergantung rapat dengan pasaran. Di sini dapatlah dinyatakan bahawa teori pembahagian tenaga buruh, pengkhususan tenaga buruh, dan pertukaran yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun 100 tahun lebih awal daripada Adam Smith yang juga mengemukakan teori yang sama.
Teori Nilai, Uang dan Harga
Ibn Khaldun tidak secara jelas membezakan antara teori nilai diguna (use value) dengan nilai pertukaran (exchange value). Tetapi beliau dengan tegas berhujah bahawa nilai sesuatu barangan bergantung kepada nilai buruh yang terlibat dalam proses pengeluaran.
"Semua usaha manusia dan semua tenaga buruh perlu digunakan untuk mendapatkan modal dan keuntungan. Tidak ada jalan lain bagi manusia untuk mendapatkan keuntungan melainkan melalui penggunaan buruh, kata Ibn Khaldun.
Teori Pengagihan
Menurut Ibn Khaldun harga barangan terdiri daripada tiga elemen utama iaitu gaji atau upah, keuntungan, dan cukai. Ketiga-tiga elemen ini merupakan pulangan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, beliau membahagikan ekonomi kepada tiga sektor iaitu sektor pengeluaran, pertukaran, dan perkhidmatan awam.
Menurut Ibn Khaldun, nilai atau harga sesuatu barangan sama dengan kuantiti buruh yang terlibat dalam pengeluaran barangan berkenaan. Harga buruh merupakan asas kepada penentuan harga sesuatu barangan dan harga buruh itu sendiri ditentukan oleh mekanisme permintaan dan penawaran dalam pasaran. Manakala keuntungan terhasil daripada perbezaan yang diperoleh oleh peniaga antara harga jualan dengan harga belian. Namun begitu perbezaan antara kedua-dua harga itu.
Ibn Qayyim
Ibn Qayyim dalam penulisannya juga telah menyentuh beberapa perkara berkenaan dengan falsafah ekonomi Islam iaitu konsep manusia Islam (homo islamicus) dan manusia bukan ekonomi (non homo economicus), konsep keadilan dan nilai-nilai etika dalam ekonomi, aktiviti ekonomi, kerjasama dan pembahagian buruh, pemilikan harta kekayaan oleh individu, dan peranan kerajaan dalam ekonomi.
Dalam hal ini, Ibn Qayyim menggariskan asas kepercayaan Islam bahawa setiap manusiabertanggungjawab membimbing diri sendiri ke arah menjadi hamba Allah yang baik dan Allah S.W.T merupakan sumber pedoman dan petunjuk.
Dalam pengajian ekonomi, manusia digambarkan sebagai makhluk yang sifat, gelagat, dan tindakannya mementingkan diri sendiri, tamak, haloba, dan menjadikan keuntungan sebagai asas penting dalam semua jenis aktiviti ekonomi. Jadi, setiap manusia bertanggungjawab terhadap perbuatannya dan Allah S.W.T menjadi pedoman dan petunjuk ke arah jalan yang betul.
Selain itu, Ibn Qayyim menekankan bahawa hidup di dunia ini merupakan ujian dan cobaan daripada Allah S.W.T. Ujian yang dikenakan kepada manusia itu boleh sama ada dalam bentuk anugerah harta kekayaan ataupun diberikan kehidupan yang susah. Anugerah kekayaan kepada seseorang tidak bermaksud Allah S.W.T sayang kepadanya. Demikian juga ujian kemiskinan tidak bermaksud Allah S.W.T benci kepada seseorang. Harta kekayaan yang dimiliki oleh manusia bukanlah bererti hidup ini penuh dengan kesenangan.
Ibn Qayyim juga ada menyentuh soal keadilan yang merupakan teras semua aspek dalam kehidupan. Menurut Ibn Qayyim, keadilan merupakan objektif dan matlamat utama Syariah. Hal ini demikian adalah kerana Syariah itu mengandungi keadilan, keberkatan, dan kebijaksanaan. Perkara yang bercanggah dengan keadilan akan menukarkan keberkatan dan kebajikan kepada laknat dan kejahatan, dan daripada kebijaksanaankepada sesuatu yang tidak berfaedah kepada Syariah.
Sehubungan dengan itu Ibn Qayyim menjelaskan nilai-nilai etika yang baik seharusnya diamalkan oleh orang Islam dalam kegiatan ekonomi mereka. Antara nilai etika yang baik ialah kepatuhan kepada Allah SWT, ketaatan kepada agama, sifat baik, jujur, dan benar. Apabila nilai etika tersebut diamalkan dalam kehidupan seharian terutamanya dalam kegiatan ekonomi, akan menjauhkan nilai-nilai jahat seperti pembohongan, penipuan, dan korupsi.
dari bermacam-macam sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar